Selasa, 27 Oktober 2015

Ama yang Begitu Mencintai Bunga Kamboja

Ama terlahir tidak untuk meminta. Bibirnya selalu tersenyum. Tetapi matanya berkaca-kaca. Pikirannya yang gelisah tak pernah henti kemukakan pertanyaan. Adakah hidup yakni bunga Kamboja? Tumbuh suci dalam sepi, menghias kematian yang datang hampiri. Ia tak memahami, mengapa hanya kesunyian yang setia rekani. Ia kemukakan pertanyaan, tetapi ayahnya sekian tenggelam di antara untaian doa dan buku-buku tua. Ia kemukakan pertanyaan, tetapi ibunya terlampau letih didalam ladang yang kerontang, menanam semasing harapan buat dia. Tinggallah Ama yang bermain sendiri, merangkai manik-manik air mata yang berderai lepas di pangkuannya. Dan di antara batu-batu nisan, pohon bunga Kamboja itu yang senantiasa mendekap dan mengusap-usapnya mesra.

 " Kenapa orang mati tidak bisa bicara? " si Ama kecil kemukakan pertanyaan.
 " Supaya mereka tidak butuh berkelahi berebut sorga, " sang Kamboja menghapus butiran tangis yang meleleh di ke-2 pipinya.

 " Kapan bln. akan bertandang ke kita? "
 " Nanti, apabila anda sudah tumbuh jadi gadis dewasa. "

 " Tetapi, saya takut waktu itu. "
Pohon Kamboja meluruhkan lagi beberapa kuntum bunga di atas kepalanya. Sekarang ini Ama juga tersenyum, menyematkan salah satu di antara jepit rambutnya.

 " Saksikan, anda secantik senja. "
Ama tersipu, merona.

 " Waktu itu cuma bayangan. Ia ada untuk mempertegas sumber cahaya. Anda tidak butuh takut. Kegelapanlah yang selalu mengintai dan bakal menerkam kita mendadak. "

Si Ama menelungkupkan wajahnya dalam pelukan sang Kamboja.
 " Nah, hari sudah mulai petang. Sekarang ini, pulanglah anda, Ama. Kudengar doa-doa ayahmu mulai merayapi udara. Dari ladang, ibumu pasti juga selekasnya tiba. Jangan sampai pernah pernah kuatir, nantinya akan kukirim setangkai bunga Kamboja yang berkelopak jingga. "

 " Benar? "
 " Ya, akan kukirim untukmu, bersamaan seorang pangeran sangat tampan yang selalu berkelana menaiki kuda. "

 " Betulkah? "
 " Ya, dalam mimpi. "

Ama bergegas menuruni lereng, mengikut bayangan sendiri yang melompat mudah di atas rumputan dan batuan. Capung dan kelelawar bersilewatan, membekaskan sapuan-sapuan temaram di atas garis cakrawala yang melintang remang. Menuju satu arah, seekor burung terbang menepi. Kepak dan cericitannya yang resah melecut sepi, mengiris langit di atas kepala Ama yang melengkung sunyi. Sepertiku, mungkin saja saja saja saja saja saja saja saja ia juga kemukakan pertanyaan mengapa malam selalu datang begini tergesa, buat hati cemas dan pikiran rawan, batin Ama sembari mempercepat langkah kakinya.

Apabila hidup yakni bentangan cerita, untuk Ama tak ada yang lebih membahagiakan kecuali mempercakapkannya dengan bunga Kamboja. Semasing ia terpana oleh pendaran warna baju-baju rekannya yang baru dibeli dari kota, oleh kisah-kisah megah perjalanan mereka, juga mainan ajaib berbagai rupa yang takkan pernah dimilikinya, sekian saja ia menghambur sedih ke dekapan sang Kamboja. Darinya ia juga selekasnya mendengar seluruhnya dongeng purba tentang kehilangan dan luka yang penuh makna. Tentang petaka, tentang penantian, tentang cemas, juga harapan yang takkan sia-sia. Lantaran kesabaraan bunga Kamboja, Ama lancar juga melantunkan requiem-requiem dan serenada yang sekarang ini selalu disenandungkannya perlahan semasing malam sebelum ia terlena. Agar, lewat mimpi, sahabatnya itu tak sampai lupa mengiriminya setangkai bunga Kamboja berkelopak jingga yang diantar sang pangeran berkuda.

Sehari, waktu ia asyik bercerita pada bunga Kamboja tentang permusuhan ular dan burung angsa, ibunya datang menyergapnya dengan berlinang air mata. Di belakangnya, ia saksikan sebagian orang bergerombolan, berdiri membeku. Diam seperti batang-batang pohon pisang yang ditanam tidak ada ide. Semasing kepala tertunduk, melingkari satu lubang yang menganga terbuka. Yang pasti telah digali oleh tangan-tangan teramat perkasa, mungkin saja saja saja saja saja saja saja saja hingga basic kedalaman. Ia diberi tahu bahwa yang ada di dalam tandu itu yakni ayahnya yang telah menyempurnakan seluruhnya doa dari semuanya buku-buku tua. Ia menurut saja, waktu ibunya memapahnya untuk berikanlah salam terakhir kali pada tandu yang mengusung ayahnya itu. Sebenarnya, ingin ia berjingkrak kegirangan waktu saksikan tandu ayahnya juga dihias bunga-bunga Kamboja berbagai warna. Tetapi, seseorang selekasnya menarik tangan kecilnya menjauh sebentar tandu itu mulai diturunkan dari pundak sebagian pemanggulnya. Ia kemukakan pertanyaan, tetapi umumnya orang selekasnya merapat mendekati lubang. Ama juga tidak bisa saksikan apa-apa kecuali tanah yang hitam, kaki-kaki yang hitam, tatapan mata yang menghindar dan kelam. Didengarnya lantas mulut-mulut mereka bergumam menggeremang, menggemakan suara kengerian yang merendap, yang menghimpit keluar dari balik semasing dada.
source:
Toko Bunga Depok 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar